My Energy Source Indonesiaku Langkahku

Aceh, Senyumanmu Tidak Seindah Wajahmu

Ketika itu setahun setelah bencana tsunami melanda Aceh tahun 2004, aku mendapat kesempatan bekerja di Aceh.

Aku mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan kontraktor. Di mana pemilik perusahaan mendapatkan dana, dari salah satu negara yang mendukung pemulihan pembangunan setelah bencana tsunami.

Aku membantu bosku untuk mengelola keuangan perusahaan tersebut.

Foto di ambil dari Google

Foto di ambil dari Google

Sebelum berangkat ke sana ada banyak persiapan yang kulakukan. Karena aku satu–satunya perempuan yang dikirim kesana. Yang paling aku ingat waktu itu persiapannya adalah bagaimana aturan berpakaian.

Karena saat pertama diminta pergi aku teringat dengan beberapa informasi bahwa perempuan di Aceh semuanya harus berhijab.

Aku pun mempersiapkan segala sesuatunya untuk itu, aku yang lebih senang pakai celana pendek dan baju berlengan pendek bahkan busana kerjaku pun lebih banyak celana panjang dan kemeja pendek.

Alhasil akupun berburu pakaian yang menyesuaikan dengan keadaan disana.

Aceh Senyumanmu ….

Pertama kali menginjakkan kaki di bandara aku sudah merasakan perbedaan rasa. Aku dijemput langsung oleh bosku dan pada saat itu di bandara aku hanya melihat banyak kaum laki-laki.

Aku merasa diperhatikan sedemikan rupa sampai hatiku tidak tenang. Bosku langsung membawa aku meninggalkan bandara dan meluncur ke tempat di mana salah satu rumah kawannya di kota Aceh.

Sedangkan tempat yang akan aku tinggali berada di sebuah desa. Di desa tersebutlah tempat tinggal para karyawan atau buruh yang dibawa dari tanah Jawa. Selain tempat tinggal, di tempat tersebut juga berdiri pabrik batako.

Setelah urusan selesai, bos mengajakku berkeliling dan memperkenalkan wajah Aceh yang begitu indah.

Beliau berkata, “ Sebelum memulai kerja esok hari, mari lihat lebih dekat wajah Aceh “. Dengan senang hati aku menerima tawaran itu karena aku memang suka dengan tempat baru atau hal–hal baru.

Menikmati  kota Aceh

Pertama, aku diajak ke kawasan titik dimana air laut paling tinggi waktu Tsunami. Aku terbengong–bengong melihatnya karena menara tinggi sekali, aku membayangkan bagaimana manusia dan segala isinya di daerah tersebut bisa selamat kalau ombak atau air laut sampai setinggi itu.

Setelah itu aku diajak ke daerah dimana rumah-rumah penduduk yang berbeda–beda tipe berada. Sebagian rumah bergaya Eropa, di lain tempat ada rumah yang bergaya Mesir.

Ternyata bentuk bangunan itu disesuaikan dengan dari negara mana yang mendanai. Jika aku mendapat kesempatan untuk kembali kesini, aku ingin melihat kawasan ini lagi.

Usai melihat-lihat kawasan itu, aku diajak melihat keindahan pantai di Aceh. Aku lupa nama pantai itu tetapi yang pasti aku begitu kagum dengan keindahannya.

Aku sampai berkata dalam hati, rasanya baru kali ini melihat laut melebihi indahnya laut Bali. Saat itu bosku menunjuk ke salah satu bukit yang ada di samping pantai.

Beliau berkata bahwa di balik bukit itu terdapat desa yang penduduknya semua bermata biru dan orang lain tidak bisa sembarangan datang ke sana. Aku hanya bisa terdiam dan tersenyum mendapatkan informasi itu.

Cukup puas menikmati pantai itu, aku diajak bertolak dari timur ke barat. Mobil meluncur dan sepanjang jalan bosku menjelaskan apa nama dan seperti apa kondisi yang dialami tempat tersebut pasca tsunami.

Aku  lupa dengan informasi itu dan yang aku ingat di ujung barat kami melewati hutan yang dijelaskan bahwa disana tempat GAM berada.

Bos aku tidak berani berlama-lama di daerah itu. Beliau hanya memberi tahu tempat itu dan juga memberi informasi bahwa tidak jauh dari sanalah tempat menyeberang untuk menuju ke daerah titik nol Indonesia.

Aceh senyumanmu – Desa itu menyapaku

Setelah berkeliling, aku di antar ke desa dimana nanti aku akan tinggal dan bekerja. Sampai di tempat itu aku dipersilahkan menaruh tas dan istirahat.

Namun belum selesai aku menata kamar, aku dipanggil untuk rapat. Sebelum membahas pekerjaanku secara lebih detail aku diperkenalkan dengan pegawai yang lain. Diperkenalkan dengan siapa aku nanti akan banyak bekerjasama.

Rasanya belum lama kami berbincang, tiba-tiba segerombolan orang lelaki datang menggeledah tempat kami dan berteriak, “ Usir perempuan ini dari sini! “ Aku sangat terkejut.

Kenapa tiba-tiba banyak orang dan tanpa basa-basi langsung berteriak menyuruh aku untuk pergi dari tempat itu. Aku gemetar dan pegawai yang ada disana beserta bosku menenangkan mereka serta bertanya ada apa sebenarnya.

Rombongan tidak mau perduli dengan segala pertanyaan, yang mereka inginkan adalah aku harus pergi. Dengan gemetar aku kembali ke kamar untuk mengambil tas dan langsung digiring ke mobil untuk diajak kembali ke kota.

Aku masih belum pulih dari keterkejutanku, badanku masih gemetar. Baru saja kami meluncur keluar dari pekarangan kantor dan pabrik itu, tiba-tiba ada suara batu jatuh di belakang mobil, ternyata salah satu gerombolan itu melempar mobil kami dengan batu.

Aku kaget dan berteriak, saat itulah air mataku jatuh. Tuhan kenapa begini?

Bosku mengendarai mobilnya dengan sangat gugup. Mungkin beliau kaget juga kenapa hal itu bisa terjadi dan meminta maaf kepadaku mengenai hal itu.

Aku tidak mampu berkata-kata dan hanya bisa menangis. Waktu itu kejadiannya sekitar sore menuju malam. Ketika mobil melaju ke kota, kami ditemani oleh gelapnya malam karena lampu jalanan tidak ada.

Bosku tidak berani menyewa hotel karena takut kelompok yang menyerang kami sudah berjaga-jaga di hotel.

Pada waktu itu juga tidak banyak hotel yang beroperasi. Bosku meminta pertolongan kawannya untuk bisa menampung kami. Sepanjang malam aku gelisah dan tidak bisa tidur.

Aku masih sangat terkejut dan heran kenapa hal itu bisa terjadi. Esok paginya bosku berusaha mencari tiket untuk kembali ke Jakarta. Namun tiketpun tidak bisa didapat.

Pada akhirnya bosku memutuskan berangkat ke Jakarta melalui Medan. Sambil menunggu persiapan perjalanan ke Medan melalui darat, bosku mengajakku ke suatu tempat dimana disana terdapat banyak orang asing.

Esok Harinya

Karena kejadian semalam, aku diperlihatkan sisi lain kota Aceh, yaitu tempat dimana orang dari beberapa negera yang membantu pembangunan Aceh berkumpul.

Daerah itu seakan bukan Aceh, aku merasa sedang berada di Kuta Bali, karena orang dari berbagai negara ada disana. Hal itu cukup mengurangi rasa takutku sejenak.

Setelah itu aku diajak ke pasar. Aku tidak begitu ingat apa keperluan bosku ketika itu, yang jelas aku tidak boleh keluar karena selain kejadian semalam, semua perempuan di pasar harus pakai hijab.

Aku tinggal di mobil dan tidak beberapa lama kami kembali ke rumah kawannya bos.

Malam menjemput kembali, aku masih tidak bisa tidur. Ketika subuh menjelang, aku, bosku dan beberapa tiga orang karyawan lainnya berangkat ke Medan dengan mengendarai mobil.

Hanya aku satu-satunya perempuan di mobil itu. Rasa takutku semakin berkurang seiring jauhnya meninggalkan kota Aceh. Ketika sampai di perbatasan Aceh dengan Medan, kami berhenti untuk makan dan aku memesan Mie Aceh.

Oh, mie itu begitu nikmat sekali rasanya. Dan sampai saat ini aku belum pernah merasakan lagi mie seenak itu. Entah karena lapar disertai takut atau yang lainnya ketika itu, entahlah.

ACEH SENYUMANMU – TUNGGU AKU KEMBALI

Saat meluncur ke Medan, aku sudah bertekad tidak mau lagi menginjakkan kakiku ke Aceh. Aku terluka ketika disambut oleh kemarahan warga .

Namun sang waktu berkata lain, ketika akhirnya aku tahu alasan bahwa kenapa warga begitu marah dengan kedatanganku. Ternyata bukan karenaku.

Tetapi memang warga disana cemburu kalau yang dipekerjakan oleh bosku lebih banyak warga dari luar Aceh. Ada memang penduduk setempat yang menjadi karyawan.

Jumlahnya memang jauh lebih sedikit. Di samping itu, warga tidak menerima kalau di tempat tinggal itu ada perempuan dan hanya ada satu. Bagiku saat ini di setiap daerah punya aturan sendiri.

Aku harus bisa menerima dengan belajar mengerti. Dan dengan itulah lukaku pulih.

Selain belajar menerima setiap aturan yang ada di setiap daerah, akupun semakin mengenal keindahan pelosok Aceh. Walau Senyumanmu Tidak Seindah Wajahmu.

Jiwaku yang penikmati laut ingin kembali untuk menikmati keindahan laut yang ada di Aceh.

Langkahku di Aceh mengajarkanku kembali, bahwa waktu memang paling pintar menyembuhkan luka.

Edited by : Alin Riona

10 Comments

  1. dani 19 Juni 2016
    • Nik 19 Juni 2016
  2. adelinatampubolon 22 Juni 2016
    • Nik 22 Juni 2016
  3. ardiba 23 Juni 2016
    • Nik 23 Juni 2016
  4. Febriyan Lukito 12 Juli 2016
    • Nik 12 Juli 2016
  5. Budhy 9 Agustus 2016
    • Nik 9 Agustus 2016

Tinggalkan Balasan ke adelinatampubolon Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

%d blogger menyukai ini: