Dentingan piano menghantarkan rasaku mengenali lebih jauh seorang Frida Kahlo dan garis takdir. Aku memandang cermin dan mendapati wajah kuyu dengan mata sudah mulai terlihat hidup. Setelah hampir seminggu terbaring ditempat tidur.
Sepertinya Oktober memiliki dendam tersendiri padaku. Entah mengapa, aku tersadar seringkali dalam bulan ini kehidupan memberi jalan pada tubuhku untuk tidak bisa beraktifitas apapun. Tidak selalu tiap tahun tetapi seringnya. Ada saja bagian minggunya badanku begitu rapuh dan lemah.
Sejak 2010 di Oktober juga, pertama kali mengalami rawat inap di Rumah Sakit, aku menyadari tubuh butuh di jaga sebaik-baiknya, karena ia sarana jiwa untuk bisa terus berperan dalam kehidupan. Aku terus berjuang sebaik-baiknya untuk menjaganya.
Tetapi takdir tetaplah memiliki alurnya, seperti Frida Kahlo dan garis takdir kadang tidak sesuai apa yang sudah dirancang oleh diri. Buktinya dibulan ini. Rasanya sakit itu sesuatu yang haram sekali di masa ini, karena begitu banyak hal yang perlu diperjuangkan. Tetapi nyatanya?
Tiga hari terbaring, hanya bisa bangun dan makan secukupnya. Hanya bisa tidur dan tidur. Di hari ke empat memutuskan ke klinik setelah badan sudah cukup baik diajak bangkit. Setelah berjam menunggu, dokter bilang kalau aku gejala tipes dan yang menjadi perhatiannya pada lambungku.
Akhirnya genap seminggu terbaring ditempat tidur, setelah dihardik dokter. Bedrest Total. Begitu katanya.
Aku melirik pada daun-daun yang menari. Angin tersenyum getir dan seakan menyapa juga padaku, selamat datang di Oktober Nik, waktumu untuk rehat. Dan aku sungguh menangis, marah, kecewa pada takdir.
Lalu ditengah semua pertarungaan rasa itu, logikaku mengajak bertemu tokoh Frida Kahlo dan Garis Takdir, kisah atau alur yang tak bisa dilewati. Akhirnya aku ambil sebagai tulisan series ke delapan belas di Senin ini tentang Aku dan Tokoh.
Baca juga series sebelumnya: Aku dan Tokoh
Sekilas Frida Kahlo dan Garis Takdir
Frida Kahlo dikenal sebagai salah satu pelukis besar abad ke-20, perempuan yang menjadikan rasa sakit dan tubuhnya sendiri sebagai bahasa seni. Ia lahir di Coyoacán, Meksiko, tahun 1907. Di usia enam tahun, Frida terserang polio yang membuat salah satu kakinya lebih kecil dari yang lain.
Namun garis takdir yang paling mengubah hidupnya datang pada usia delapan belas tahun, sebuah kecelakaan bus yang mematahkan tulang punggung, panggul, dan kakinya, serta melukai rahimnya. Sejak saat itu, hidup Frida menjadi rangkaian panjang antara rumah sakit, perban, dan kuas.
Ia menjalani lebih dari tiga puluh operasi sepanjang hidupnya, dan di sela-sela rasa sakit itu, ia melukis. Karya-karyanya lahir dari ruang paling pribadi: tentang luka, tubuh, cinta, dan kemerdekaan.

Aku tertegun ketika menemukan satu kutipan pada hekint.org, saat ingin lebih jauh mencari tahu tentang tokoh wanita, yang aku melihat bagaimana takdir begitu kejam memeluknya.
“I suffered two grave accidents in my life . . . One in which a streetcar knocked me down and the other was Diego.”
Kejam pikirku, tapi nyatanya?
Tidak demikian alur yang diatur kehidupan. Bukan soal kejam atau indahnya kepingan kisahnya, tetapi bagaimana hidup memakai segala pelik jalan seorang Frida Kahlo dan garis takdir yang diatur oleh hidup.
Melaluinya ia mampu menciptakan sesuatu yang besar. Aku sangat terkesan ketika bagaimana ia melihat pertemuan dengan suaminya dikatakan kecelakaan. Ia sadar betul, mencintai memiliki resiko untuk disakiti. Karena akhirnya dikhianati dengan perselingkuhan.
Aku merinding membaca bagaimana cinta Frida pada Diego suaminya begitu dalam dan penuh penerimaan. Ia sadar cinta memiliki banyak warna, termasuk menerima luka dalam pengkhianatan.
Konon katanya, semua hanya soal pilihan. Tetapi kalau soal rasa apakah bisa memilih?
Aku sendiri pernah pada titik, menerima dan mencintai orang yang mungkin orang lihat, mengapa sampai aku menerima semua itu. Jika boleh aku katakanya, bahwa cinta tidak pernah punya alasan, dia hanya ingin memberi terbaik.
Baca juga: Dar Der Dor 2023 – Terbaik Ketika Mencintai itu Tugas
Garis Takdir Yang tak bisa dilewati

Aku seperti kuda yang dipaksa untuk berubah menjadi bunga matahari yang utuh. Terikat dengan akar dan matahari untuk tetap kuat. Garis takdir kehidupan yang tidak bisa kulewati saat raga diminta rehat total.
Seminggu ini raga diam tapi nalar tidak bisa diam, terus berjuang mencari makna. Mengapa sampai terjadi setelah upaya begitu kuat. Merelakan diri untuk tetap makan banyak disaat perlu begadang. Ada banyak batasan diri aku lewati untuk memberi ruang utuh pada tubuh.
Menghormati tubuh adalah caraku mencintai kehidupan, karena tubuh ini sarana utama dalam memainkan perannya. Tetapi nyatanya, tetapi juga bertemu dengan rapuhnya.
Mengapa aku begitu sedih akan rapuh tubuh ini?
Aku butuh untuk bisa bergerak mencari dan memperjuangkan tanggung jawab. Sadar pada diri bahwa ada banyak yang menunggu, sedangkan waktu tidak pernah mau menunggu. Tetapi lagi, diri ditajamkan soal penerimaan.
Hingga kisah Frida Kahlo dan garis takdir yang dia alami, aku perlu punya keberanian untuk mencintai hidup, seperti Frida Kahlo dan garis takdir, dalam keberanian mencintai suaminya dan kisahnya menguatkan bahwa bangkit, terus bergerak dan berjuang cara menghadapi takdir yang tidak bisa dilewati.
Akhirnya
Kisah Frida Kahlo dan garis takdir dan Oktoberku mengajak untuk tetap kuat, menerima dan terus bergerak sampai garis akhir yang sudah ditentukan.
Karena takdir tak selalu bisa dilewati, kiranya kisah Kahlo dan garis takdir bisa memberi makna untuk tetap mencintai hidup meski dalam luka.

Jakarta, 13 Oktober 2025
Ditulis dalam sendunya cuaca dan dalam proses kembali bangkit setelah seminggu raga terbaring ditempat tidur.


6 Responses
semoga lekas pulih seperti sedia kala selalu ya Mbak Nik
saya pun pernag berada di posisi menerima dan mencintai orang yang mungkin kata orang kok bisa saya jadi seperti itu?
kembali ke takdir ya, kalau cinta mungkin tidak pernah punya alasan, dan sebagaimana orang di kampung, setelah berkeluarga, manut saja sama imam, dengan alasan memberikan yang terbaik sebagai bagian dari ibadah
Saya merasa, bulan ke 10 ini juga berat, Mbak Nik. Namun berusaha untuk terus semangat. walau masih saja mengeluh. Hingga meghibur diri sendiri. Yah.. namanya juga manusia suka mengeluh. Dikasih panas ngeluh, dikasih hujan ngeluh hehehe.
dan membaca kisah Frida Kahlo ini, membuat saya semakin bersyukur. garis takdir yang harus dia lalui lebih berat. Hidupnya hanya seputar rumah sakit dan melukis. Pasti lelah menjalani 30 operasi itu.
Nahh di film Coco diperlihatkan Frida Kahlo di alam sana dan masih saja terkenal. Ternyata baru tahu kalau beliau survivor polio. Mungkin karena dulu belum ada vaksinnya?
Semoga lekas sehat ya mbak. Dan kalau ternyata sudah sehat, semoga nggak sakit lagi. Saya mengetik ini juga sedang dalam kondisi kurang fit sejak hari Sabtu. Setelah berganti-gantian sakit di rumah sejak Agustus, akhirnya saya kena juga. Tapi nggak apa-apa. Mungkin tubuhku lelah dan perlu istirahat.
Btw cerita Frida Kahlo tragis juga ya. Kena polio, kecelakaan, diselingkuhi, tapi dibalik itu semua dia masih bisa berkarya. Luar biasa.
Aku tahu Frida dari film biopiknya dulu yang diperankan siapa ya.. terkenal banget jadi mencari tahu tentang dia, selain karya lukisannya yang jenius, ternyata kehidupan cintanya penuh tragedi termasuk akhir hidupnya ya.. huhu..
Butuh keikhlasan dan keberanian menerima takdir dengan segala rasanya. Tetap bertahan mesti luka menggerogoti batin. Keren sih ini. Menjadikan segala penderitaan sebagai jalan untuk menciptakan seni.