Kenapa liburan tak menyembuhkan
Mentari itu tersenyum manis pada seorang insan yang duduk ditepi pantai, membisikan sesuatu pada hati yang penuh tanya:
“Apakah liburan ini benar-benar menyembuhkan?”
Liburan tidak melunasi rasa tertekan dalam bekerja. Mungkin bisa tapi sementara. Hanya membawa haus tapi tidak sungguh menyembuhkan. Lalu, Laut itupun ikut menemani Mentari, memberi ruang pada insan itu untuk melihat lebih dekat. Kemudian Mentari dan Laut berkata,
“Mari duduk dan aku perlihatkan bagaimana ada dua orang perempuan pada zaman dulu, Alexandra David-Néel dan Etty Hillesum, mereka bertemu dengan arti sebuah perjalanan dan bukan hanya menyembuhkan tetapi melahirkan sinar dalam langkahnya”
Aku & Alexandra David-Néel: Perjalanan Itu Momen, Bukan Destinasi
“Mbak, sendiri aja?”
Serorang perempuan menyapaku, ketika pagi itu, aku menyusuri pantai di pagi teduh. Bukan semata menikmati angin pantai mencumbuiku, tapi lebih karena ingin melihat bagaimana kehidupan bergerak di kota itu. Aku suka dengan pagi – dengannya, kehidupan lebih jujur menjelaskan nafasnya.
Setelah itu, aku duduk dan membaca buku. Perempuan itu menyapa. Aku taruh buku dan menjawab kalau sedang solo traveling. Seperti biasa – entah memang wajahku menarik orang untuk bercerita banyak, begitulah perempuan itu mulai berkisah. Dan kemudian ia berseri mendengar jawaban-jawabanku.
Itu satu diantara momen aku menikmati perjalanan dan jawaban kenapa liburan tak menyembuhkan, Saat stress kerja dan burnout.
Baca Juga:Solo Traveling Banyuwangi Terbaik – Selamat Datang 46 – Happy Birthday
Begitulah aku, perjalanan bukan soal destinasi tapi bagaimana menikmati momen itu. Ternyata setelah mengulik tentang tokoh, aku menemukan Alexandra David-Néel, memiliki kesamaan.
Mari Melihat Lebih dekat Tentangnya
“To the one who knows how to look and feel, every moment of this free wandering life is an enchantment”
Kutipan perempuan Prancis yang melampaui batas perempuan di zamannya. Ia adalah penjelajah, penulis, penerjemah teks Buddhis, dan praktisi spiritual. Ia menjadi orang Barat pertama yang berhasil masuk ke kota suci Lhasa di Tibet (1924), dengan menyamar sebagai pengemis laki-laki. Ia menulis lebih dari 30 buku.

Alexandra perempuan yang berani menabrak batas sosial zamannya – perjalanan spiritual baginya bukan hanya meditasi di ruang tenang, tapi menjelajahi kerasnya dunia demi membuktikan bahwa kebebasan adalah hak jiwa.
Aku sangat menyukai tokoh ini, memaknai perjalanan bukan sebagai tujuan, tetapi proses langkah demi langkah. Yang dinikmati dengan sadar, punya makna tersendiri. Aku tidak berani menyandingkan diri dengannya. Tulisan ini untuk menyadari bahwa ada jejak yang searah – tentang nilai hidup, tentang perjalanan, dan keberanian untuk menempuhnya.
Bagaimana denganmu?
Seberapa sering menyadari ketika traveling sibuk dengan menunjukkan diri dimana berada, duduk dengan alam bebas tetapi rasa terpaku pada ponsel. Sudahkah menyadari laut itu luas penuh misteri, kota terbangun dengan megah oleh orang yang begitu mencintai keindahan, Gunung dingin untuk menyadari begitu kecil insan.
Kenapa liburan tak menyembuhkan rasa penat, tekanan atas kerjaan, mungkin lebih jujur pada diri bagaimana merangkul liburan itu sendiri.
Etty Hillesum: Saat Healing Tak Membutuhkan Tempat Baru
Ada kalanya, waktu menempatkan diri pada kondisi tidak memungkinkan pergi jauh untuk menikmati perjalanan. Tetapi itu tidak menghilangkan sukacita atas hidup. Ada banyak hal yang bisa dipilih tetap nyaman di tengah tekanan.
“Selamat Siang. Kak, hari ini mau minum apa?”
Begitu sapa serorang penjaga kedai. Karena berulang kali aku kesana, ia mengerti kalau pilihanku tidak selalu kopi, kadang teh, coklat ataupun jahe. Beragam minuman aku nikmati, karena setiap rasa punya arti tersendiri.
Melalui rasa minuman, aku bisa menjadikan perjalanan, bagaimana setiap tegukan memberi kesegaran.
Baca Juga:Teh Kopi Coklat – 3 Rasa dengan Kisahnya – Best 2024
Dilain waktu, saat pekerjaan berat dan rekan kerja membuat keadaan makin tidak nyaman. Aku memilih tetap fokus bekerja. Aku mengingatkan diri: untuk apa aku ada di tempat ini?
Kadang, untuk menyamankan diri, setelah makan siang aku tidak ngobrol sama yang lainnya. Tetapi memilih kembali ke meja kerja, membaca buku kesukaanku. Dengannya, aku menemukan banyak kehidupan, dan membangkitkan energi ditengah keadaan yang kata orang menyebalkan.
Baca Juga: Ingat Tujuan Awal – Cara Bersemangat – 2016
Karena itu, aku semakin paham. Mungkin alasan kenapa liburan tak menyembuhkan, bukan itu jalan utamanya. Kekuatan dalam tekanan bukan hadir dari jarak, tapi dari bagaimana kita mengatur pikiran dan rasa untuk tetap nyaman.
Tokoh yang aku pilih, yang mampu menemukan kedamaian dan cinta di tengah kekelaman yaitu Etty Hillesum.
Siapa dia?
Penulis jurnal dan surat-surat dari masa Holocaust. Seorang perempuan Yahudi di Belanda, awalnya penuh kebingungan dan pertanyaan eksistensial. Tapi seiring waktu, melalui relasi spiritual dengan psikolog Julius Spier, ia berkembang menjadi pribadi yang luar biasa jernih. Ia menolak sembunyi, memilih ikut bersama keluarganya ke kamp Westerbork, hingga akhirnya tewas di Auschwitz.

“Suffering has to be overcome within yourself, not by arranging your circumstances.”
Aku suka sekali kutipan itu. Karena yang tahu siapa diri kita – iya, hanya kita sendiri. Tak perlu mencari tempat baru atau sesuatu untuk bisa lebih baik. Iya, setuju kadang bisa menjadi pemicu diri untuk lebih segar dan nyaman. Tapi kalau keadaan tidak memungkinkan, bukan berarti kalah. Penting untuk tetap menjadi tuan atas keadaan sehingga tetap fokus bertanggung jawab atas apa yang ada.
Seperti Etty memilih bertahan dalam kegelapan untuk menjadi terang kecil. Ia mewakili sisi batin yang matang, yang tak menolak penderitaan tapi mengolahnya jadi sumber kasih dan kesadaran.
Mungkin itulah, kenapa liburan tak menyembuhkan. Karena ada saatnya yang dibutuhkan bukan tempat tetapi cermin. Untuk bertanya, bagaimana cara mengatur tekanan, ketika kaki tak bisa melangkah, tapi jiwa ingin tetap bernapas?
Rahasia Stress Kerja dan Pulang ke Diri – Aku dan Tokoh
Aku ingat betul stress terbesar yang pernah aku alami ketika tiba-tiba direktur digantikan dengan seorang yang baru lulus dan satu keturunan dari pemilik perusahaan. Menempatkannya di posisi tinggi tapi sama sekali tidak punya pengalaman membuatku kesulitan.
Bagaimana tidak, selama ini berurusan dengan pimpinan yang memang tepat, segala sesuatu berjalan dengan baik. Biasanya bos tidak banyak bicara, ikut saja alurku karena dia tahu sebagai pegawai sudah sesuai dengan harapan perusahaan. Tetapi penggantinya. Sungguh ingin langsung keluar.
Tapi apa daya, jika tidak tetap bekerja aku tidak makan, tidak ada jalan lain saat itu. Tidak hanya bos, rekan kerjapun makin bertingkah, ada saja lakunya yang membuat menangis. Entah kerjaannya tidak cepat selesai, sedangkan aku tidak bisa memproses pekerjaan karena butuh darinya, tetapi bos menunggu hasil kerjaanku segera. Penuh tekanan.
Tetapi, disanalah aku banyak belajar dan waktu memberiku didikan. Ketika mampu tetap bertanggung jawab, tidak bersungut-sunggut, selang tahun berganti segala kemudahan itu hadir.
Tidak memikirkan liburan, tetapi mengolah pikiranku untuk lebih kuat dan tajam melihat keadaan.
Lalu kenapa liburan tak menyembuhkan, karena mungkin hanya butuh kesadaran untuk kembali pulang ke diri sendiri. Bukan liburan atau bertemu tempat baru, tetapi bagaimana mengatur diri untuk tetap jejek, sadar kalau pekerjaan itu hanya sebagian hidup.
Dan ada banyak bagian lain yang perlu dinikmati. Seperti mungkin ketika membaca tulisanku ini, rasamu terbasuh.
Akhirnya,
kenapa liburan tak menyembuhkan, mungkin kita perlu mengganti pertanyaannya. Apa ‘tempat pulang’ versimu? Bagikan ceritamu di komentar yuk.
16 Responses
Adakalanya orang² yang pulang dari liburan bukannya malah happy tapi kok ya tambah stres. Seakan mereka gak menikmati liburannya? Padahal ya nikmati aja dengan jadi diri sendiri dan syukuri segala halnya biar lebih lapang dalam diri
Ada kalanya ke tempat liburan tak menyembuhkan ya. Di sana happy sesaat, setelah kembali ke rutinitas kok burnout tetap saja ada, malah tambah stres. Ternyata memang proses penyembuhan ada dalam diri dan pikiran kita sendiri. Diri sendiri yang punya kendali mau terus berlarut dengan kesedihan atau kembali bangkit.
Kalau aku pulang ke rumah orang tua adalah healing terbaik, hehe. Kembali jadi anak, istirahat sejenak dari rutinitas sebagai ibu. Rasanya jadi fresh lagi.
Biasanya yang begini dari pengalaman pribaduku kak saat mau liburan kerjaan masih belum selesai dan bos toxic selalu menghantui hehehe Atau temen yang dilimpahi tanggungjwab saat cuti ngga bisa berbuat sesuai yang biasa kita kerjakan, alhasil liburan tetep harus buka email, laptop dan setor kerjaan.
Paling bener kaya negara maju, liburan sebulan beneran liburan dan ngga boleh diganggu gugat hehehe
Aaakk, pantessss, aku mengamini semua yg Mba Nik sampaikan di artikel ini.
Kerasaaaa banget sik, karena beberapa kali aku holiday kok makin sutris yakk
ternyta begini tho.
Keren sekali pemikiran Alexandra David-Néel, bahwa perjalanan itu bukan tujuan melainkan setiap prosesnya yang membentuk. Pola pikir yang the best pastinya, apalagi mengingat beliau tumbuh di tahun yang dulu banget ya mba.
Nah, aku pun pernah ngalami nih atasan tiba-tiba ganti dan jalur keturunan. Nggak bisa kerja yang ada bawahan keteteran semua. Belum lagi saling sikut nggak fair di antaran rekan kerja asli stres maksimal. Kalau nggak inget sama kebutuhan rasanya pengen segera pergi memang. Begitulah ya mba, banyak proses pembelajaran di masa sulit.
Nyatanya aku tersenyum dengan kalimat “liburan namun tidak lepas dari gadget” hehehe. Kalau boleh aku ingin satu Minggu liburan tanpa gadget, mungkin semisal sudah mumpuni secara finansial ya. Soalnya sekarang masih kuliah yang nggak bisa jauh dari HP. Tetap semangat dan berproses. Makasih sudah menuliskan hal yang sangat bermanfaat serta mengingatkan makna hidup yang sebenarnya.
Ahahaha, pemikiran yg baguss banget La
Memang beginilah resiko jadi manusia jaman now yak.
semogaaaaa kita semua tetap sehaaaatt, makin semangaatt mengarungi hidup, dan menikmati momen apapun, termasuk Liburan 🙂
ketika liburan tak menyembuhkan versi saya mungkin karena kita merasa ada yg diburu pada liburan itu. Misalnya, ada yg nanya, di kota XXX sudah kemana aja? Hah, masa sih cuma di hotel? Padahal sekitaran situ ada ini dan itu, nyaman buat keluarga and so on. Liburan malah jadi ajang berburu tempat trending. Padahal liburan ya libur. Libur mikirin konten, libur mikirin kerjaan, libur dari rutinitas. Kesempatan utk relax atau sekalian mempererat hubungan dengan keluarga atau teman.
beruntunglah orang – orang yang masih bisa liburan
karena ada yang terpaksa tidak liburan karena ada kewajiban lain
KEtika liburan tak menyembuhkan karena kita tidak menikmati liburan. Liburan versiku adalah hadir utuh saat bliburan, sekedar menepi sejank dari hiruk pikuk dunia dan kembali hadir ke dunia dengan energi dan semangat setelah jeda sejenak.
Kadang jeda itu perlu agar menjalani hidup lebih indah dan bermakna
Liburan memang gak selalu menyembuhkan.. tapi ada kalanya berpikir dengan penuh kedamaian. Diantara rudetnya permasalahan, ketika liburan, mungkin bisa belajar dari lingkungan dan orang-orang baru.
Selalu ada kesulitan dalam hidup.
Bukan untuk menyalahkan keadaan, namun terus mencoba untuk memperbaiki diri agar menjadi versi yang lebih bijak.
Kadang liburan tak selalu untuk sembuhkan luka ya
Tetapi menjadi jalan untuk rileks sejenak
Istirahat dari sibuknya hari-hari yang kita jalani
Menohok banget mbaa. Bener ya liburan knp malah dipake lbh bnyk foto² untuk sharing status. Dan ada perasaan bangga dgn foto itu. Padahal itu bukanlah kebaikan sementara tujuannya tuk healing. Thanks a lot remindernya.
Hehe iya ya, kadang mau sekalian berburu konten
Tapi kadang jadi sibuk foto foto
Nggak menikmati liburan
2 tahun laku aku mikir kalo liburan bisa menyembuhkan, tapi ternyata yang lebih cocok di aku adalah tidur seharian hehehe karena cape fisik
Liburan tak selalu menyembuhkan karena hanya jadi tempat escape sementara. Dan masalah akan tetap ada. Ada yg bilang kalau burnout malah mending ke psikolog atau psikiater.
Kalau versi di tulisan ini:
Menyelesaikan masalah dari dalam ya…self healing atau dengan cara mundfulness?
Daku setuju sih. Liburan ya bener2 menikmati. Bukannya dikit-dikit foto z video, lalu upload. Gadgetnya ditaruh dulu untuk sementara.
Daku belum pernah solo traveling nih, jadi pengen coba.
Setuju sekali bahwa kadang bukan tempat baru yang kita butuhkan, tapi ruang dalam diri untuk kembali bernapas. Liburan bisa menyegarkan sesaat tapi pulihnya justru datang dari kesadaran dan pengolahan batin.